Analogi Saya Tentang Selera Penonton Film Indonesia

Bagi saya, penonton film Indonesia di era film baru ini layaknya bayi. Suatu saat nanti sang bayi akan menikmati makanan lezat macam steak dan salad, tapi saat ini ia baru bisa memakan bubur. Makanan padat pun belum bisa, jadi jika dipaksakan disuapi steak, jangan kaget bila dimuntahkan begitu saja. Jangankan mencerna, untuk mengunyahnya saja belum bisa.

Si bayi jangan diberi hanya bubur dan bubur lagi, itu sih namanya asal gampang tapi merusak pertumbuhan. Tapi juga jangan langsung paksakan makan daging. Tingkatkan perlahan, dari bubur lunak mungkin ke puree buah pisang. Biar sedikit ada peningkatan mutu, dan masih bisa dicerna. Di film, walau cerita masih simple agar mudah dicerna, tapi production value bisa dinaikkan.

Dan beli makanan bayi pun sesuai kantong, jangan paksakan beli asal mahal tapi kemudian sang orangtua sendiri tak bisa makan layak. Kalau kita tak makan, bisa sakit, bisa mati, dan si bayi pun menyusul. Mau meningkatkan kualitas makanan bayi atau selera penonton film Indonesia? Lakukan dengan bertahap, wajar, memang harus sabar.

4 thoughts on “Analogi Saya Tentang Selera Penonton Film Indonesia

  1. errr…masalahnya kapan itu penonton bisa dianggap bukan bayi lagi? anak-anak di kampus saya sudah terbiasa makan steak dan salad kok. cuma memang, mereka makan steak dan salad impor. mau bagaimana lagi, tidak ada steak dan salad buatan negeri sendiri, soalnya 😉

    • Menurut saya, kalau kita menyebut ‘penonton’ artinya sebagai ’mayoritas’. Kapan penonton sudah bisa dianggap bukan bayi? Ketika ’mayoritas’ nya sudah tidak mau lagi disuapi dengan bubur, atau ketika film-film yang tidak dibuat dengan layak sudah tidak lagi diminati mayoritas penonton. 🙂

      Ini baru akan berpengaruh kalau sudah terjadi pada mayoritas. Kalau bukan mayoritas, dampaknya akan sedikit pada industri yang pasti mengikuti tuntutan pasar. Katakanlah kita, anda dan teman-teman kampus sudah makan steak dan salad, bagus, sayangnya mayoritas belum sejauh itu majunya.

      Nggak ada yang jual steak & salad? Ah, ada kok. Restoran steak ada, walau memang nggak seperti warteg yang jalan sedikit langsung ketemu. Bicara film yang dibuat secara layak, kita punya film-film produksi Mira Lesmana, karya-karya Joko Anwar, ada Rayya Makarim, dan itu baru sebagian. Apakah itu sudah termasuk steak & kentang bagi anda & teman-teman? Nah, itu beda-beda. 😉

  2. Dear Mas Raya…
    Membaca tulisan mas raya yang satu ini, kayaknya membangkitkan kembali pertanyaan lama saya tentang hubungan antara penonton dengan pembuat film terhadap perkembangan film di Indonesia.

    ” Apa yang menjadi tolak ukur perkembangan dan kemajuan film Indonesia? kraetifitas pembuat filmkah? atau responsif kuota penonton terhadap sebuah film?

    ” Apakah sebuah film yang berhasil meraih omzet puluhan milyar dikatakan sebagai film yang bagus dan berhasil? ataukah, sebuah film dengan high sceen creativity, kematangan para aktris dan aktor, serta cerita yang dapat memberikan sebuah kemajuan berfikir kepada masyarakat untuk kehidupan yang akan datang?

    Karena pemikiran saya, jika penonton hanya disuguhi dengan cerita – cerita tentang style saat ini, atau bahkan mungkin cerita masa lalu, maka mungkin juga masyarakat kita tidak akan pernah berani membayangkan bagaimana caranya membuat sebuah rumah di luar angkasa… karena saya percaya perkembangan berfikir masyarakat lebih di dasarai pada apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar.

    So.. angan – angan saya aja sih mas Raya, menjadikan Film Indonesia sebagai tolak ukur kemajuan berfikir dan kehidupan masyarakat. bukan hanya sebagai tontonan hiburan semata…. Thanks Mas Raya…..

    • Bagus kalau punya cita-cita dan angan-angan seperti itu, mas. Pada akhirnya nggak ada yang salah, selama diupayakan sebaik-baiknya. Entah yang mau bikin hiburan semata, yang mau menyampaikan pesan, yang mau mendidik, semuanya bagus aja asal berimbang. Saya akan selalu kembali ke “keseimbangan”, yang didapat dari dinamika. Bagi saya kemajuan dan keberhasilan itu ada jika ada keseimbangan. Apakah tolok ukur hanya dari jumlah penonton? Tentu tidak. Apakah tolok ukur kemajuan mutlak dari award, kreatifitas dan semua yang kualitatif, tidak juga. Kemajuan yang riil adalah kalau kita sudah mencapai keseimbangan diantara keduanya.

      Percuma kita bikin film asal menghibur dan gampang untung kalau ujungnya membuat masyarakat jenuh dan kreatifitas industrinya mati. Percuma juga kita bikin film yang “wah” high concept tapi saking “tingginya” sulit dicerna masyarakat hingga nggak balik modal dan akhirnya film dicap sebagai bad business. Yang perlu di cari adalah titik tengah, menyatukan keduanya, artinya keduanya akan saling kompromi. Kalau makin hari makin terlihat adanya balans itu, saya bilang itulah kemajuan. 😉

Tinggalkan komentar