Menulis untuk Harian Kompas

Ngalor-ngidul bahas tentang gadget, komputer, dan video di blog memang menyenangkan, menulis di penerbitan besar adalah lain hal. Adalah sebuah kehormatan dan keberuntungan, untuk bisa menulis di harian sebesar Kompas tentang hal-hal yang memang saya minati. Baru tiga kali sudah saya menjadi kontributor di rubrik Peranti di Kompas Klass yang biasanya muncul di hari Jumat. Tidak rutin memang, karena bergantian dengan kontributor lainnya. Saya juga hanya menulis kalau sedang ada yang menarik, dan disetujui oleh para editor.

image

Yang dibahas memang bukan sesuatu yang sangat teknis, karena memang ditujukan untuk publik yang lebih luas. Hal yang sudah diketahui bagi penggemar gadget, belum tentu diketahui semua orang. Dari membahas aplikasi photo editing, aplikasi pemantau lalu-lintas, sampai kamera-kamera kecil yang bisa membuat video sinematis, selalu menyenangkan menulis untuk Kompas Klass. Apa yang akan jadi bahasan berikutnya? Belum tahu. Kalau ada ide, boleh sumbang saran di kolom komentar.

Terima kasih pada Ario atas rekomendasinya.

Setelah Video DSLR Jadi Mainstream, Apa Lagi?

image

Apa lagi yang bakal mengguncang dunia videography dan indie filmmaking? Lahirnya kemampuan rekam video di kamera DSLR merevolusi semuanya, memberi akses terjangkau untuk menciptakan video dengan visual yang bukan sekedar tajam namun juga punya dimensi. Tidak lagi datar dan hambar. Dengan begitu banyak pilihan di semua range harga, hampir semua filmmaking-enthusiast mampu beli HDSLR sekarang. Produsen kamera pun juga hepi. Teknologi sudah sampai di titik yang baru. Tapi terus apa lagi dari sisi hardware? Resolusi lebih tinggi? 4K? Ah, buat saya nggak menarik. Belum. Emangnya mau bikin apa sampai butuh Ultra HD? Selain overkill, harga kamera dan workflownya juga belum bersahabat. Yang saya tunggu adalah produk revolusioner, yang menggerakkan massa, yang terjangkau, dan masuk akal, bukan produk kelas atas yang overkill. Yang realistis.

Sebelum ada produk yang mendobrak seperti waktu pertama kali Nikon D90 keluar dengan kemampuan video, dan disusul Canon 5DMkII, rasanya sekarang ini seperti stagnan. Canon Cinema 1D? C300? RED? Ngiler? Saya sih nggak. Gimana yah, nggak kepake dan nggak kebeli. Ngapain ngiler? Kayaknya untuk waktu lama, memang HDSLR jadi solusi standard. Mungkin terobosan berikutnya bukan di kameranya. Di operasi, di workflow. Mobile devices seperti smartphone atau tablet sudah mulai masuk ke fotografi dan videografi. Seperti saya bisa mengendalikan secara live-view HDSLR saya di layar smartphone. Mungkin monitoring jadi lebih murah, focus pulling jadi lebih mudah. Entahlah, kita tunggu. Pastinya, bisa ada lagi yang membuat semuanya semakin praktis juga terjangkau.

Anyway, ini cuma ocehan saya yang gemes karena merasa mestinya bisa ada terobosan baru yang bikin semakin praktis, mudah dan murah. Ini karena ngelihat teknologi mobile computing lagi kenceng banget, tapi di ‘kamera’ terasa terlalu pelan mengadaptasinya.

Rasanya Nggak Lagi Pengen Jadi Produser

Sepertinya sekarang ini jadi pencarian arah buat saya, dan sejauh ini saya cuma bisa menyimpulkan pasti bahwa saya memang cuma suka berkreasi. Sifatnya kreatif, bukan ke arah manajemen atau koordinasi selayaknya produser. Sebatas perencanaan saya masih enjoy, tapi begitu mulai masuk ke persiapan makin kelihatan bahwa produserial bukan bidang utama saya. Entah kenapa tanda-tandanya begitu. Beda dengan istri saya yang memang dari awalnya assistant producer untuk PH, dan sekarang pun jadi event producer. Saya bisa sebagai co-producer, tapi untuk jadi producer, rasanya saat ini saya sudah nggak minat untuk mencoba.

Mendingan konsen aja ke sisi kreatif, dan kembali melakukan yang saya lakukan, menulis dan merancang cerita.

Acer Liquid E: Smartphone Android ‘Cair’ yang Bikin Naksir

*image from Acer website

Kayaknya semua teman-teman sekeliling saya sudah pakai smartphone, tinggal saya aja yang masih pakai ”hape bego”. Memang saya bukan tipe yang suka dengan hape mahal, apalagi kalau cuma jadi korban mode, tapi makin hari makin jelas bahwa smartphone yang bisa dipasangi macam-macam aplikasi sudah punya fungsi nyata dan bukan sekedar mode. Dari semua yang ada, smartphone berbasis Android menarik saya karena banyak pilihan merk & tipe, tapi selama ini nyoba-nyoba belum ada yang bikin kepincut. Entah keren banget tapi jadinya kemahalan, atau terjangkau banget tapi performanya keteteran. Nah, kemaren ini saya baru nyoba smartphone Android buatan Acer yang sepertinya menjanjikan, namanya Liquid E.

Pertama, saya penasaran pengen tahu kayak apa sih Acer yang jagoan komputer bikin handphone? Laptop & netbook Acer sudah jelas megang pasar di sini, tapi bisa nggak merancang handphone? Saya nggak sempat ke pameran komputer kemarin, tapi untung ternyata ada temannya teman yang sudah beli Acer Liquid E. Saya sempat dikasih nyoba-nyoba ngelus-elus sebentar. Kesan pertama melihat langsung bentuknya, istilah yang kepikir di kepala adalah ”IT banget”. Di mata saya, dibalik garis dan lekuk minimalisnya terasa sekali bahwa Acer aslinya adalah pembuat komputer. Ibaratnya, kalau diletakkan disamping laptop atau netbook, Liquid E terlihat seperti saudara. Body atau casingnya terasa plasticky, tipis dan ringan. Enath untuk menekan harga atau apa, tapi saya percaya Acer sudah perhitungkan kekuatannya. Ukurannya pas, dan rasanya sebesar handset Android kelas atas lainnya. Nggak terlalu tebal tapi juga nggak terlalu tipis, ini menurut saya justru pas karena kalau hape touchscreen terlalu tipis saya megangnya  kurang nyaman. Tapi intinya, selain nyaman, untuk yang nggak suka terlihat ’pasaran’, soal bentuk memang Liquid E tampil beda apalagi dengan warna hitamnya.

*image from Acer website

Kesan yang paling nendang pertama sih terus terang di displaynya yang bukan cuma besar tapi juga tajem banget! Layar 3.5 inci dan resolusi 400×800 memang bikin kepincut. Berasa banget mewahnya karena tampilan tajam dan kemampuannya menampilkan 256 ribu warna membuat display enak dilihat, seperti smartphone yang harganya jauh diatasnya. Tapi karena belum lama ini pernah nyobain Android merk lain yang murmer dengan touchscreen yang nggak responsif, yang saya antisipasi adalah touch screennya. Langsung saja tes swipe dilayar menggeser menu shortcut, dan ternyata nggak ada rasa telat atau lagging. Respon pada sentuhan terasa normal, cepat dan natural. Saya pun berlanjut utak atik menjajal touchcreennya untuk aplikasi yang ada, rasanya oke aja. Jadi, dari sisi display dan touchscreen Liquid E menurut saya termasuk bagus dan memuaskan. Di bawah layar ada 4 ikon touchpad, fungsinya untuk jadi shortcut ke home, search, back & setting. Praktis, cuma agak gampang kesenggol sama jari saya yang gede. Mungkin karena saya belum biasa aja ya.

*image from GSMarena.com

Navigasi di Liquid E luwes saja, sebagaimana layaknya apa yang kita harapkan dari smartphone kelas ini. Utak-atik berlanjut, melihat-lihat aplikasi yang ada di Liquid E ini. Berhubung teman saya ini baru beli, dia belum sempat nambah aplikasi dari Android Market. Buat yang masih doyan Facebook, pastinya Liquid E sudah siap, dan untuk Twitter juga sudah ada app Twidroid. Soal multimedia dan game, Liquid E pun cukup mumpuni tapi saya nggak sempat nyoba banyak. Selama mencoba-coba, nggak terasa lambat atau berat, padahal saya sempat khawatir Android Eclair akan berat untuk prosesor si Liquid E. Nyatanya, cair saja. Katanya, pemilihan prosesor yang dibawah 1gHz ini untuk mengirit batere. Untuk itu mesti punya dulu, baru bisa tahu ya. So far, so good.

*image from Acer website

Yang paling pengen saya coba dari smartphone ini adalah internetnya, dan browsing pakai Liquid E juga terasa cukup cair dan alami. Ukuran layar untuk ukuran handheld cukup royal, dan orientasinya pastinya otomatis berubah sesuai kita memegang handset. Saya lupa teman saya ini pakai provider apa, tapi pastinya kecepatannya lebih dari cukup untuk saya. Seperti biasa, tangan saya yang besar selalu butuh waktu untuk membiasakan pakai touchscreen keyboard di semua smartphone. Membuka-buka internet pakai Liquid E ini bikin saya ngelirik ’hape bego’ saya yang walau setia, pastinya nggak bisa seperti ini. Makin betah aja megang si ’cair’ dari Acer ini, tapi bicara ‘megang’, sekali lagi rasanya yang mungkin perlu diperbaiki cuma materi plastiknya.  Next, coba lihat kameranya.

*image from Acer website

Sempet nyobain kameranya sejepret dua jepret, berhubung terang dan semi outdoor, gambar yang didapat kelihatan bagus di display. Kameranya 5 megapixel, tapi nggak pakai flash. Yah untuk kita yang biasa megang kamera beneran, rasanya flash mini di hape memang juga nggak begitu berguna jadi saya nggak begitu peduli. Bicara motret, sayangnya saya sendiri lupa motret si Liquid E ini, jadinya di sini saya pasang foto dari website Acer aja. Nah untuk video recording saya lihat biasa saja, bukan salah satu kelebihan Liquid E. Saya nggak pernah terlalu berharap banyak dari kemampuan rekam video di handphone. Yang lebih penting dari kamera pastinya masalah koneksi, dan untuk itu si cair ini lengkap dari Bluetooth , WiFi sampai HSPA ada. Lebih dari konektivitas, untuk navigasi pun sudah ada GPS. Google map? Sudah pasti, semua siap digunakan berbagai aplikasi Android yang tersedia. Kelengkapan ini menegaskan status Liquid E sebagai smartphone.

*image from Acer website

Sayangnya nggak bisa lama-lama saya nyobain Liquid E manis itu, karena teman saya itu nerima SMS dan mesti pergi. Waktu ada message, saya baru tahu satu fitur yang saya suka. Keren juga, ternyata di atasnya itu ada indikator tersembunyi yang bisa nyala buat nunjukin ada message. Kalo dikantongin entah message, missed call ataupun indikator batere semua langsung kelihatan tanpa mesti dikeluarin. Ide yang sederhana tapi cukup manis! Pengennya sih nggak usah ngembaliin si Liquid E ini.

*image from Acer website

Dari sedikit waktu saya mengelus-elus smartphone ini, saya jadi kepengen. Semua yang saya tulis ini hanya berdasar beberapa menit ngelus-elus si Liquid E ini, sementara sang pemilik nggak berhenti ngoceh tentang macam-macam fitur keren dari mulai Live Wallpaper sampai segala widget dan autoupdate OS apalah yang nggak sempat saya perhatiin. Dia ngomong terus, tapi saya sibuk sendiri aja ngutak-atik sambil ngiler. Yang kepikiran adalah kalau pakai hape bego aja saya sudah bisa aktif di internet, apalagi dengan smartphone seperti Liquid E ini? Tinggal pakai mobile internet yang mumpuni, beres! Semua ada di kantong. Saking fokus ke kemampuan internet, aplikasi, GPS, dan lainnya, jadi lupa satu fitur utama Liquid E, bisa dipakai nelepon! Dan omong-omong, Acer sepertinya nggak mau menyebut si Liquid E sebagai smartphone, tapi disebutnya “smart handheld”. Sepertinya Acer ingin Liquid E ini lebih dianggap komputer genggam ketimbang telepon. Melihat kemampuannya, sah-sah saja.  Teman saya dan Liquid E-nya yang masih kinclong akhirnya pergi, dan saya kembali bersama hape bego saya. Pada akhirnya untuk Acer dan Liquid E nya, saya mau bilang dengan meniru aksen khas Rianti Cartwright, ”Acer Liquid E, kamu keren sekali yaaa… I like it, good job.”.

Makan Nggak Makan Yang Penting Film?

Setelah rencana film anak-anak mendadak dibatalkan di Januari kemarin, saya sedang mencoba mengolah cerita-cerita saya untuk diproduksi dengan partner baru. Kenapa nggak ke ph-ph yang lain aja yang mapan? Rasanya nggak kepengen, karena kalau di ph besar ujung-ujungnya palingan cuma jual skenario sementara saya bukan cuma mau jualan cerita ataupun naskah. Ya kalaupun laku, tentunya, bukan ge’er yakin dibeli. Lebih seru begini, mengolah cerita dari nol dan ikut hampir semua tahapan produksi dari awal sampai ujung. Jadi saya bisa belajar.

Nah, kemarin mantan bos nelepon. Nanya apa saya bisa nulis skenario untuk film televisi. Wah, terus terang aja saya bilang saya belum mampu. Bukan apa-apa, pasti selain dikejar waktu, revisinya banyak. Kalau nulis untuk film malah saya lebih berani masih ada waktu. Akhirnya saya ditawarkan, kalau ada ide cerita mungkin boleh diajukan dalam bentuk cerita atau sinopsis saja. Itu lumayan, saya bisa. Tapi ya, saat ini rasanya kalaupun otak yang sedang lamban ini ada ide bagus bakal saya prioritaskan untuk film aja.

Masih ngotot ya di film? Entahlah, bukan ngotot juga sebenernya, cuma ngejar cita-cita. Walau sekarang ya jujur aja jadi nggak makan karena belum jalan film lagi. Nggak makan hamburger dan steak, maksudnya. Hahaha…

Analogi Saya Tentang Selera Penonton Film Indonesia

Bagi saya, penonton film Indonesia di era film baru ini layaknya bayi. Suatu saat nanti sang bayi akan menikmati makanan lezat macam steak dan salad, tapi saat ini ia baru bisa memakan bubur. Makanan padat pun belum bisa, jadi jika dipaksakan disuapi steak, jangan kaget bila dimuntahkan begitu saja. Jangankan mencerna, untuk mengunyahnya saja belum bisa.

Si bayi jangan diberi hanya bubur dan bubur lagi, itu sih namanya asal gampang tapi merusak pertumbuhan. Tapi juga jangan langsung paksakan makan daging. Tingkatkan perlahan, dari bubur lunak mungkin ke puree buah pisang. Biar sedikit ada peningkatan mutu, dan masih bisa dicerna. Di film, walau cerita masih simple agar mudah dicerna, tapi production value bisa dinaikkan.

Dan beli makanan bayi pun sesuai kantong, jangan paksakan beli asal mahal tapi kemudian sang orangtua sendiri tak bisa makan layak. Kalau kita tak makan, bisa sakit, bisa mati, dan si bayi pun menyusul. Mau meningkatkan kualitas makanan bayi atau selera penonton film Indonesia? Lakukan dengan bertahap, wajar, memang harus sabar.